Article: Sejarah Singkat Anarkisme Di Indonesia

oleh Gloria Truly Estrelita, Jim Donaghey, Sarah Andrieu and Gabriel Facal

[diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Gloria Truly Estrelita]

19 Desember 2022

[Juga tersedia untuk dibaca dalam bahasa Inggris, dan sebagai podcast audio dalam bahasa Inggris dan Indonesia di Anarchist Essays].

Foto oleh Frans Ari Prasetyo. Graffiti pada reruntuhan rumah yang dibongkar di Tamansari, Bandung, c. 2019.

Dalam bahasa Indonesia, istilah ‘anarki’ identik dengan perilaku rusuh dari beberapa kelompok yang berbeda, mulai dari fundamentalis Islam hingga penggemar sepak bola. Negara bahkan memainkan perannya dalam membangun narasi ‘anarki-sebagai-kerusuhan,’ dengan memberlakukan aturan penanggulangan anarki “Prosedur Tetap (Protap) Anti Anarki” sejak Oktober 2010 (Lastania et.al 2010) yang dilanjutkan dengan rencana membentuk divisi polisi ‘anti-anarki’ (yang mulanya menargetkan kerusuhan yang dilakukan oleh massa agama).

Beberapa tahun terakhir, negara bahkan telah menggeser narasi ini untuk mengidentifikasi anarkisme sebagai sebuah bentuk terorisme populis, yang dikatakan terkait dengan komunisme – sebuah hal yang hingga saat ini masih dianggap tabu di Indonesia dan ditambah dengan istilah Marxis-Leninis, masih secara resmi dilarang oleh negara (Guritno 2022).

Pihak aparat menggunakan istilah ‘anarko-sindikalis’ untuk mencirikan bentuk anarkisme ini dari ‘anarki’ perusuh lainnya, sehingga kelompok-kelompok yang diidentifikasi sebagai anarko-sindikalis tersebut mendapatkan tekanan. Skenario ini, dan adanya isu ketakutan ancaman merah yang sudah berlangsung lama di Indonesia, menunjukkan bahwa penyuaraan tentang gerakan anarkis tetaplah sensitif.

Anarkisme dalam konteks anti-kolonialisme dan nasionalisme di Indonesia

Jauh dari stigma yang disampaikan, gerakan anarkis di Indonesia terdiri dari beragam kelompok dengan berbagai ide dan praktik. Para pengamat tentang politik di Indonesia mengulas bahwa isu-isu pragmatis acapkali mengesampingkan pertimbangan ideologis (Rosanti 2020). Partai-partai politik dan serikat buruh mengorganisasikan diri mereka sendiri berdasarkan agama, kedaerahan, atau identitas etnis, dengan mengandalkan jaringan sosial yang sudah mapan sebelumnya. Walaupun reformasi demokratisasi terjadi setelah jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1998, keterlibatan dalam bentuk politik progresif apa pun tetap kerap dicurigai berorientasi sosialis, dan diawasi secara ketat oleh badan-badan intelijen dan kelompok sipil lokal pendukungnya (Honna 1999: 121).

Gambar jalur kereta api yang disabotase selama era kolonial. Diambil dari sampul buku karya Bima Satria Putra, Perang Yang Akan Kita Manangkan (2018).

Namun, hal ini tidaklah selalu demikian. Selama perjuangan pro-kemerdekaan di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, anarkisme berpengaruh pada pemikiran anti-kolonial, yang hadir di Indonesia bersamaan dengan bangkitnya komunisme dan nasionalisme di bawah rezim Hindia Belanda (Satria Putra 2018; Nugroho 2021). Buku pertama yang menggambarkan kecenderungan ‘anarkis’ di Hindia Belanda adalah novel Max Havelaar, yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker dengan nama ‘Multatuli’ pada tahun 1860. Buku tersebut mengkritik keras pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga karya tersebut menginspirasi banyak kaum anarkis (Satria Putra 2018).[1] Perjuangan Multatuli kemudian dilanjutkan oleh cucunya, Ernest François Eugène Douwes Dekker, seorang pemuda yang menjalin hubungan dengan kaum radikal untuk memperjuangkan pembebasan koloni-koloni saat melakukan perjalanan ke Eropa pada awal tahun 1910-an. Selama Perang Dunia Pertama, pada tahun 1916, surat kabar Hindia Belanda Soerabaijasch Nieuwsblad melaporkan sabotase yang dipimpin oleh seorang tentara angkatan laut anarkis muda (Blom 2004). Peristiwa ini relevan dengan karya-karya propaganda anti-perang yang marak pada masa itu di Hindia Belanda, terutama disebarluaskan oleh kaum Kristen-anarkis dan para Tolstoyan (E.F.E. Douwes Dekker sendiri menggambarkan Yesus Kristus sebagai pejuang kebebasan dan seorang anarkis yang hebat [Van Dijk 2007]).

Gerakan anarkis di Hindia Belanda juga dipengaruhi oleh para anarkis Cina pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia Pertama, serta para aktivis di Indonesia yang menjalin hubungan dekat dengan anarkis di Cina, Filipina, dan Malaya Inggris. Tahun 1909 dan seterusnya, gerakan anarkis Tionghoa bahkan gencar mendirikan rumah-rumah baca di penjuru Hindia Belanda serta menerbitkan banyak surat kabar dan menjadi asosiasi politik bebas yang menentang pemerintah Belanda. Gagasan anarkis juga menarik perhatian beberapa mahasiswa muda Indonesia di Belanda, yang kemudian mengembangkan kontak dengan para anarkis lokal Belanda. Di antara mereka adalah perdana menteri pertama Republik Indonesia, Sutan Sjahrir (Damier & Limanov 2017, Mrázek 1994).

Para mahasiswa muda ini kemudian menjalin hubungan dengan kekuatan politik sayap kiri dan mengambil bagian dalam aksi Liga Internasional Melawan Imperialisme dan Penindasan Kolonial, yang juga dikenal sebagai Liga Anti-imperialis (Satria Putra 2018). Dengan gaung situasi saat itu di Indonesia, pemerintah kolonial menggunakan label anarkis untuk menangkap mereka yang mengkritik pemerintah. Misalnya, pada tahun 1927, pihak berwenang Belanda menangkap beberapa anggota Sarekat Ra’jat (atau sebelumnya dikenal sebagai Sarekat Islam Merah). Mereka dinyatakan bersalah atas tuduhan anarkisme, dan kemudian dibuang ke Papua Barat (Suryomenggolo 2020).

Dari tahun 1920an dan sesudahnya, Partai Komunis Indonesia (PKI) menggunakan pengaruhnya di tingkat lokal, membangun basis populer yang kuat, terutama setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. PKI adalah salah satu pemenang besar dalam pemilihan umum pertama tahun 1955, dan pada tahun 1960an tumbuh menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia dengan tiga juta anggota, disertai konstelasi organisasi akar rumput yang menjadi satelitnya (Lev 2009).

Setelah mengetahui keterlibatan terselubung Amerika Serikat dan Inggris dalam pemberontakan tahun 1957-1961 (Conboy and Morrison 2018) dan provokasi campur tangan mereka terhadap konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1962-1966 (Wardaya 2008), Presiden Sukarno yang nasionalis tampil untuk mendukung posisi anti-Barat yang diusung oleh PKI. Dalam konteks Perang Dingin yang merebak luas, hal ini membuat gerah partai-partai politik lain, para pemimpin tentara sayap kanan serta negara-negara barat yang takut bila orang-orang komunis mengambil alih kekuasaan di negara ini.

Tetapi meskipun Sukarno merangkul beberapa kelompok kiri, ia tetap tidak bersimpati pada gerakan anarkis walau ia kerap mengutip tulisan-tulisan anti-kolonial Mikhail Bakunin dalam pidatonya (Danu 2015). Di awal karir politik Sukarno, pada tahun 1932, ia menerbitkan sebuah artikel berjudul “Anarkisme” di harian Fikiran Ra’jat, surat kabar milik Partai Nasional Indonesia (PNI). Di dalamnya, Sukarno mengungkapkan penentangannya terhadap kaum anarkis dan sikap kaum anarkis yang menolak negara dan patriotisme. Meskipun Sukarno sejalan dengan kaum anarkis dalam perjuangan mereka melawan kolonialisme, ia, pertama-tama dan terutama, adalah seorang nasionalis dan negarawan.

Pemikiran anarkis memiliki pengaruh yang luas. Bahkan PKI yang Marxis-Leninis turut menampilkan kutipan-kutipan dari Bakunin dalam editorial jurnal Koran Api mereka yang terbit pada 1920an. Meskipun pada tahun 1926, penulisnya, Herujuwono, seorang ketua partai di Jawa Tengah, lantas dimarahi oleh Darsono, seorang tokoh PKI, karena dianggap mencemari kemurnian ideologis partai. Tapi justru peristiwa ini menunjukkan betapa heterogenitas kelompok Kiri di Indonesia, dengan adanya persilangan gagasan dunia politik di bawah perjuangan anti-kolonial  (Satria Putra 2018).

Represi terhadap kelompok Kiri dan kemunculan kembali anarkisme

Tragedi 1965-1966 secara brutal menghabisi pergerakan politik PKI dan kelompok-kelompok kiri lainnya di Indonesia. Pada tanggal 30 September 1965, sebagai reaksi atas pembunuhan beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, militer di bawah Mayor Jenderal Suharto mengambil alih kendali negara, serta menuduh PKI dan afiliasinya bertanggung jawab atas plot pembunuhan tersebut. Selanjutnya, pengganyangan anti-komunis yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia modern diluncurkan di seluruh penjuru nusantara. Pada tahun 2016, International People’s Tribunal mengeluarkan pernyataan bahwa estimasi korban terbunuh selama aksi bengis tersebut adalah sebanyak 500.000 orang (IPT Report 65 2016).

Segera setelah mengambil alih kekuasaan politik, rezim Orde Baru di bawah Mayor Jenderal Suharto menyebarkan propaganda buruk tentang komunisme, dan melarang gagasan, politik, maupun semua karya terkait pergerakan kiri (Estrelita 2010). Di negara yang mewajibkan agama, dan mengaitkan secara langsung dengan kekuasaan politik, komunisme yang kerap diidentikkan dengan ateisme membawa dampak yang kuat. Lembaga-lembaga negara dan rakyat juga dilibatkan dalam aksi represi yang mengubah masyarakat Indonesia menjadi pengawas anti-komunis.

Setelah tiga puluh tahun penindasan dan marjinalisasi di bawah ‘ketakutan bahaya merah’ yang mewabah ini, pergerakan anarkis menggeliat kembali pada tahun 1990an. Hal ini terjadi karena pergerakan mahasiswa di seluruh nusantara, khususnya oleh budaya punk (Satria Putra 2018; Anjani 2020). Pada saat itu, anarkisme diidentikkan dengan punk. Komunitas punk belajar tentang anarkisme melalui lembaran lirik lagu dari kelompok-kelompok musik punk yang terlibat pergerakan anarkis, dan juga melalui zine-zine punk-anarkis dari Amerika Serikat maupun Eropa, yang diangkut ke Indonesia oleh para punk yang sedang berkeliling, lalu disalin dan didistribusikan kembali, serta diterjemahkan dalam zine-zine yang diproduksi secara local (Donaghey 2016). Pada tahun-tahun berikutnya, wacana anarkisme semakin beragam yang lalu mempengaruhi para aktivis, mahasiswa, pekerja, dan akhirnya menjangkau masyarakat yang lebih luas dari latar belakang yang berbeda-beda.

Selama pergolakan politik melawan rezim Orde Baru pada akhir 1990an, banyak simpatisan anarkis yang mengklaim sebagai anggota Front Anti-Fasis atau FAF, dibentuk pada tahun 1997 di Bandung, yang menyatukan anak punk, anak jalanan dan preman. Pada tahun 1999, beberapa anggota FAF lantas bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang sosialis (F Putra 2022). Hal ini menimbulkan rasa kecewa bagi beberapa aktivis yang berpikiran anarkis, dan membuat mereka menegaskan keinginannya untuk menjaga jarak dari PRD. Mereka beranggapan bahwa bergabung dengan partai politik justru menggiring pada kooptasi dan mengekang suara-suara kritis (wawancara dengan narasumber tahun 2022).

Front Anti Fasis sekitar tahun 1998.

Meskipun dalam aliansi, para pendukung FAF tetap secara otonom melanjutkan pergerakan mereka di bawah tanah. Pada Desember 1999 dan Februari 2000, mereka bertemu dengan beberapa kelompok punk di Yogyakarta dan membentuk Jaringan Anti Fasis Nusantara atau disebut JAFNUS (F Putra 2022), yang kemudian mendapat tekanan dari milisi sipil Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), yang menuduh para aktivis JAFNUS sebagai komunis (wawancara dengan narasumber tahun 2022).

Upaya selanjutnya untuk mengkonsolidasikan kelompok-kelompok anarkis dalam sebuah jaringan adalah pembentukan Jaringan Anti-Otoriter atau JAO (F Putra 2022) yang dibentuk pada tahun 2006. Selain perannya sebagai titik kumpul untuk demonstrasi May Day yang berskala besar pada tahun 2007 dan 2008 (aksi di tahun yang terakhir ini mendapatkan tekanan keras dari polisi), mereka juga melakukan pengenalan taktik dan strategi black bloc. Aliansi dalam JAO ini merupakan lintas perjuangan dalam anti-otoritarianisme, anti-kapitalisme, anti-statisme, non-sektarianisme, revivalisme non-religius, anti-rasisme, federatisme, otonomi, dan ekologi.

Dari perjuangan dan pertemuan antar kelompok, sindikat kekuatan pekerja terbentuk pada tahun 2014, yang lalu menghasilkan pembentukan Persaudaraan Pekerja Anarko-Sindikalis (PPAS) pada tahun 2016, sebuah organisasi anarko-sindikalis pertama di Indonesia sejak jatuhnya Orde Baru. Mereka mengambil bagian dalam protes May Day besar-besaran pada tahun 2018 dan 2019 (F Putra 2022), serta protes terhadap RUU reformasi ketenagakerjaan atau  Omnibus Law pada tahun 2020, yang berujung pada kerusuhan lalu menjadi sorotan media dan menarik perhatian polisi.

Kutipan media dari Kapolri Tito Karnavian, setelah demonstrasi May Day 2019.

Di dalam maupun di luar perkembangan kelompok-kelompok dan jaringan-jaringan ini, kaum anarkis juga sudah terlibat dalam berbagai macam aksi, seperti: menjalankan infoshop; menerbitkan buku, pamflet dan zine; selain itu juga, aksi solidaritas dengan komunitas lokal; aksi boikot dan sabotase; demonstrasi dan black bloc; maupun intervensi dalam bentuk karya artistik. Beberapa fraksi penting dari gerakan ini juga terlibat dalam pemberian dukungan untuk buruh perkotaan, petani pedesaan, atau masyarakat yang menderita perampasan tanah maupun pengrusakan lingkungan.

Menjamurnya perpustakaan jalanan yang berkembang dari tahun 2009 di Bandung dan lalu menyebar ke daerah-daerah lainnya, menunjukkan fokus gerakan pada pendidikan. Perpustakaan-perpustakaan ini juga menyediakan makanan gratis, melalui dapur umum yang diadakan di bawah bendera Food Not Bombs (Damier and Limanov 2017). Situs web Anarkis.org, yang dibentuk pada tahun 2014 juga menjadi sumber daya penting untuk pendidikan mandiri dan diskusi kritis terkait pergerakan ini (wawancara dengan narasumber tahun 2022).

Contoh poster, stiker, patch dan zine yang menentang neoliberalisme dan ekstraktivisme di Indonesia.

Kelompok-kelompok anarkis di Indonesia memiliki karakter yang khusus, seperti konsep kekeluargaan, maupun dinamika hubungan interpersonal yang hirarkis. Dimensi struktural ini membentuk dialog antara komunitas yang dimobilisasi dan kelompok anarkis, yang mengharuskan mereka menegosiasikan relasi kekuasaan tertentu. Hal yang umum bahwa agama dan spiritualitas menjadi sumber daya mobilisasi bagi beberapa anarkis di Indonesia. Di negara yang tidak menerima ateisme, banyak anggota gerakan yang masih mempraktikkan agama, dan kaum anarkis Indonesia cenderung lebih fleksibel daripada rekan-rekan mereka di Eropa yang sering kali mengakui cita-cita anarkis adalah ‘tidak ada Tuhan, tidak ada Tuan’ (wawancara dengan narasumber tahun 2022). selain itu kaum anarkis Indonesia juga kerap membantu kelompok-kelompok agama minoritas, seperti Syiah maupun Ahmadi.

Gotong royong, solidaritas horisontal, dan otonomi, sudah kerap ditemukan dalam budaya-budaya tradisional di Indonesia, walau hal ini tentu saja tidak berlabel ‘anarkisme.’ Hal ini dapat dilihat dalam masyarakat adat, seperti orang Samin, Kajang, Dayak, Tanimbar, atau Kanekes, yang sudah menanamkan praktik-praktik anarkis ini melalui cara hidup bermasyarakatnya, maupun sikap yang menarik diri atau bahkan menentang negara. Dalam hal ini, sebetulnya bukanlah anarkisme, melainkan konsep negara itu sendirilah yang diimpor dari luar negeri. Interpretasi-interpretasi ini semakin diperkaya oleh interaksi antara kaum anarkis dan komunitas tradisional yang memberikan inspirasi.

Anarkisme di bawah represi, dan pentingnya kritik anarkis kontemporer

Saat ini, setelah 60 tahun propaganda nasionalis dan anti-komunis, dan lalu kemunculan kembali demokrasi pada tahun 1998, ide-ide progresif tetap mengalami represi keras karena dianggap sebagai potensi kebangkitan kembali momok komunisme. Keadaan ini tampak pada mobilisasi rakyat berskala besar yang marak sejak Mei 2019 sebagai protes terhadap politik uang, korupsi, dan otoritarianisme. Cap yang menjadi sasaran adalah ‘anarko-sindikalisme’, yang ditampilkan sebagai nebula yang menyimpang secara moral dan konspiratorial yang mengancam ketertiban umum (Maharani 2019). Pada tahun 2019, otoritas kepolisian menyatakan anarko-sindikalis bertanggung jawab atas kerusuhan May Day di beberapa kota besar. Selama pandemi Covid, Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) mengumumkan bahwa kaum anarko-sindikalis telah mengorganisir serangan terhadap fasilitas umum di seluruh Jawa (Velarosdela 2020; Anjani 2020). Sebagai akibat dari stigmatisasi ini, beberapa pemerintah kota sekarang bahkan menyerukan penolakan mereka terhadap gerakan ini melalui spanduk-spanduk yang dipasang di ruang publik (Nugroho, 2016).

Dari Tribun Jabar/Mega Nugraha.
Dari Inti Jaya News.

Gerakan anarkis saat ini muncul sebagai gerakan politik kiri vokal terakhir di Indonesia, meskipun ia tetap merupakan suara yang lemah dalam lanskap politik yang didominasi oleh partai-partai tradisional yang terkait dengan oligarki, organisasi keagamaan, dan konsorsium bisnis. Presiden Joko Widodo, yang menjabat selama dua periode, justru meminggirkan ide-ide progresif, meningkatkan ketidaksetaraan, memperkuat kekuatan militer, dan tidak banyak melakukan upaya untuk melawan kerusakan lingkungan. Sebaliknya, kaum anarkis memiliki analisa yang baik untuk mengartikulasikan dimensi-dimensi sistemik yang mendukung masyarakat Indonesia kontemporer, karena itu suara mereka menjadi penting untuk didengar.

 

Daftar Pustaka

Anjani, Kirana. Kaus Hitam dan Paranoia Negara: Stigmatisasi dan Pelanggaran Hak Kelompok Anarko-Sindikalis. Indonesia: Lokataru Foundation, 2020.

Blom, Ron, & Stelling, Theunis. Niet voor God en niet voor het Vaderland. Linkse soldaten, matrozen en hun organisaties tijdens de mobilisatie van ’14-’18. Amsterdam: Aspekt, 2004.

Damier, Vadim & Limanov, Kirill. “Anarchism in Indonesia.” libcom.org, 14 November 2017. https://libcom.org/article/anarchism-indonesia-0

Danu, Mahesa. “Bung Karno Dan Anarkisme.” Berdikari Online, 16 Maret 2015. https://www.berdikarionline.com/bung-karno-dan-anarkisme/

Donaghey, Jim. Punk and Anarchism: UK, Poland, Indonesia [PhD thesis]. UK: Loughborough University, 2016. https://repository.lboro.ac.uk/articles/thesis/Punk_and_anarchism_UK_Poland_Indonesia/9467177

Estrelita, Gloria Truly. “Penyebaran Hate Crime oleh Negara Terhadap Lembaga Kebudayaan Rakyat.” Tesis Departemen Kriminologi, Universitas Indonesia, 2010.

Final Report of the IPT 1965. https://www.tribunal1965.org/en/final-report-of-the-ipt-1965/

Guritno, Tatang. “Menyebarkan Komunisme, Marxisme, Leninisme Dapat Dipidana, Koalisi Masyarakat Sipil: Menghidupkan Orde Baru.” KOMPAS.com, 5 Desember 2022. https://nasional.kompas.com/read/2022/12/05/19061841/menyebarkan-komunisme-marxisme-leninisme-dapat-dipidana-koalisi-masyarakat

Honna, J. “Military Ideology in Response to Democratic Pressure during the Late Suharto Era: Political and Institutional Contexts.” Indonesia, 67, pp. 77-126, 1999.

Lastania, Ezther, Riky F & Jobpie S. “Polisi Miliki Protab Baru Anti Anarki.” tempo.co, 10 Oktober 2010. https://metro.tempo.co/read/283651/polisi-miliki-protap-baru-anti-anarki

Lev, Daniel S. The Transition to Guided Democracy. UK: Equinox Publishing, 2009.

Mrázek, Rudolf. Sjahrir: Politics and exile in Indonesia. New York: Ithaca, 1994.

Nugroho, Pujo. Kota Merah Hitam. Indonesia: Solidaria.id, 2021.

Putra, Bima Satria. Perang yang Tidak Akan Kita Menangkan: Anarkisme dan Sindikalisme dalam Pergerakan Kolonial hingga Revolusi Indonesia (1908-1948). Indonesia: Pustaka Catut, 2018.

Putra, Ferdhi F. Blok Pembangkang: Gerakan Anarkis di Indonesia 1999-2011. Indonesia: EA Books, 2022.

Rosanti, Ratna, “Political Pragmatics in Indonesia Candidates, the Coalition of Political Parties and Single Candidate for Local Elections”, Jurnal Bina Praja, vol. 12, n° 2, 2020.

Suryomenggolo, Jafar. “Dari Sekolah Liar Hingga Anarkisme.” Historia, 23 Mei 2020. https://historia.id/politik/articles/dari-sekolah-liar-hingga-anarkisme-PG89B

Van Dijk, Kees. The Netherlands Indies and the Great War, 1914-1918. The Netherlands: Leiden. 2007.

Velarosdela, R. N. “Polisi Selidik Dalang Kelompok Anarko yang Berencana Lakukan Vandalisme Massal.” Kompas, 13 April 2020. https://megapolitan. kompas.com/read/2020/04/13/18103381/polisi- selidik-dalang-kelompok-anarko-yang-berencana- lakukan-vandalisme

Wardaya, Baskara T. Indonesia Melawan Amerika Konflik PD 1953-1963. Yogyakarta: Galangpress, 2008.

 

Catatan

[1] Lihat juga Frank van der Goes dalam tulisannya Multatuli over Socialisme (1896); Nicolas Walter dalam bagian Anarchism and Religion dalam buku Damned Fools in Utopia: And Other Writings on Anarchism and War Resistance (1991: 283); Vadim Damier dan Kirill Limanov mengklaim bahwa Multatuli adalah penulis anarkis, https://libcom.org/article/anarchism-indonesia-0